Peringatan

Hay,,, selamat datang di bologer aku,,, isi postingan yang ada di blog aku ini,,, tidak semua hasil dari karya aku,,, tapi intinya di dalam postingan pyur murni tentang apa yang ada di dalam hati dan pikiranku...

Minggu, 13 Februari 2011

IBU adalah.......

Akankah kita membuat sang Bunda senantiasa tersenyum hingga diusia senjanya? Beliau adalah sosok pahlawan yang membuat kita bisa berdiri tegar seperti sekarang. Bisakah kita merawatnya kelak sebagai wujud balasan cinta? Jawaban apa yang akan kita beri? Mungkin “ya” saat ini. Tetapi siapa tahu nanti karena kesibukan kita dalam bekerja, kita anggap mereka terlalu merepotkan. Apalagi kita sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Hanya ada satu keputusan, kita akan membawa sang bunda ke panti jompo. Beberapa bulan kemudian, kita dapat telepon dari panti jompo yang mengatakan, “Ibu Anda sudah meninggal.” Akankah kita berbuat lebih kejam lagi untuk sang bunda?

Mungkin ini salah wujud penghargaan yang diberikan kepada seorang ibu atas segala jasa dan pengorbanannya. Menurutku memang pantas. Aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di meja kamar kostku. Aku mulai merangkai kata-kata indah untuk ibu. Sebelum kutekan tombol send, kubaca ulang tulisanku tadi. Terlalu berlebihan, ibuku tidak akan paham kata-kata puitis seperti ini. Kutekan tombol edit, jemariku mulai mengetik. SMS terikirm. Beberapa menit kemudian, balasan pesan ibu kuterima. “Kok pake ucapan hari ibu segala, hari ibu itu seharusnya setiap hari. Oh ya, minggu depan kamu pulang?” Aku tersenyum sendiri membaca pesan ibu. Aku jadi berpikir tentang pendapat ibu, memang benar kalau tidak cukup perhatian dan waktu kita untuk ibu tercinta hanya sehari saja.


‘Besok kamu pulang?’ Itulah pesan yang selalu kuterima dari ibu setiap hari Jumat. Dari dulu seperti itu, tidak ada kata-kata lain yang lebih kreatif. Padahal ibu tahu, semenjak bekerja aku pulang ke kota Tulungagung di minggu pertama setiap awal bulan setelah gajian. Dengan begitu, aku bisa membawakan sedikit oleh-oleh untuk keluarga dari hasilku bekerja. Entah itu buah-buahan atau sekotak kue brownies, yang pasti aku tidak akan pulang ke rumah dengan tangan kosong. Walaupun ibu sering bilang padaku kalau tidak perlu membawa oleh-oleh karena itu pemborosan. Melihatku pulang dengan keadaan sehat saja ibu sudah senang. Waktu mendengar kata-kata ibu, hatiku trenyuh. Dan aku baru sadar akan makna pesan ibu yang super sangat singkat itu.


Minggu sore, saatnya aku balik ke Surabaya. Kucium tangan ibu saat berpamitan. Tanpa bicara, ibu masih berdiri di ambang pintu rumah mengantar kepergianku. Begitu sampai di terminal Tulungagung, bus tarif biasa jurusan Surabaya lewat Kertosono telah mengangkutku. Sekitar empat sampai lima jam perjalanan. Waktu yang cukup untuk memejamkan mata sejenak. Tapi suara guyuran hujan membangunkanku. Bus berhenti di sebuah perempatan kota Kediri. Lampu pertanda merah. Dari balik kaca kulihat titik-titik air yang kian membesar berjatuhan dari atas langit, seorang ibu muda dengan perut berisi calon jabang bayi setengah berlari menerjang hujan. Tanpa payung. Dia pun segera masuk kedalam bus dalam keadaan setengah basah. Bola hitam matanya mencari tempat duduk kosong. Tanpa pikir panjang, aku mengangkat tanganku. Seperti kode rahasia, perempuan itu pun langsung menempati bangku kosong disampingku. Dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang sudah membendung dipikiranku untuk mengetahui perjalanan hidupnya, tapi aku menunggu waktu yang tepat. Hingga kulontarkan pertanyaan paling umum dan mendasar, “Turun mana Mbak?”


Awal yang bagus. Dan kisahnya terekam dalam memori otakku. Namanya Mbak Iin. Ditengah kehamilannya yang menua – berusia 7 bulan, dia ke Surabaya untuk bekerja sebagai karyawan toko di sebuah mall. Dia harus tetap bekerja sampai masa cuti hamil tiba. Jika tidak demikian, gaji tidak bakal didapat. Bukankah biaya persalinan saat ini tidak murah? Apalagi suaminya telah tiada sejak usia kandungannya satu bulan. Tapi mbak Iin sungguh tegar, tiada keluh kesah dalam setiap perkataannya. Dia menghadapi kemelut cobaan hidup ini dengan rasa syukur. Perjuangan seorang ibu yang luar biasa. Diakhir obrolan kami, mbak Iin berkata, “Bayi dalam kandungan ini yang membuat saya bertahan untuk hidup. Kamu masih muda, jangan pernah mengewakan ibumu.”


Saat diminta atasan untuk membuat desain logo sebuah komunitas, aku membuka kembali buku mata kuliah typografi yang tersimpan dalam kardus bawah ranjang kost. Sekedar mengingat filosofi dan jenis-jenis huruf, tiba-tiba saja aku teringat dengan dosenku. Ya, sejak kejadian itu hubunganku dengan ibu Nanik semakin dekat hingga sekarang. Ketika jam kuliah sedang berlangsung, Ibu Nanik – sang dosen jilbaber menerangkan definisi typografi. Huruf-huruf yang setiap hari kita jumpai dan bisa merangkai berbagai kata ini memiliki ribuan nama berdasarkan jenisnya. Ada yang menarik, hanya dengan satu huruf pun bisa mewakili sebuah makna bahkan filosofi. Ketika ibu Nanik menuliskan huruf “C” di white board, beberapa saat beliau terhenti. Lalu menghapusnya dan mengganti dengan huruf lainnya. Ada yang aneh, sepertinya huruf “C” mengingatkan sesuatu hingga raut muka Ibu Nanik mengisyaratkan kesedihan.


Ternyata benar. Diakhir jam mata kuliah, Ibu Nanik bercerita kalau anak bungsunya yang berawalan huruf “C” yaitu Citra sedang dirawat di rumah sakit. Kecelakaan menimpa ketika bocah yang saat itu berumur sembilan tahun, menyeberang jalan di depan sekolahnya. Ibu Nanik menunjukkan padaku kalung kecil berhiaskan huruf “C” yang akan diberikan untuk sang anak tercinta sebagai hadiah ulang tahunnya. Semestinya Citra meniup lilinnya dan tertawa riang bersama teman-temannya. Naluri seorang Ibu bekerja merasuki setiap hal terkecil apa yang dirasakan hati anaknya. Ini adalah wujud cinta sang bunda. Tiba-tiba aku mulai bisa merasakan gelombang cinta itu.


Lamunan panjangku buyar oleh bunyi dering SMS. Aku sedikit kaget, SMS dari ibu. “Besok hari Sabtu, kamu tidak pulang?” Seketika aku tersenyum sendiri membaca pesan ibu yang selalu sama itu. Ibu… ibu…. seandainya ibu ada didepanku sekarang, aku akan memeluk dan mencium pipi ibu.


Lorong rumah sakit ini suram. Tapi itu bukan alasanku untuk membenci rumah sakit. Nuansa serba putih yang hampir dipenuhi orang-orang dengan pancaran kesedihan inilah membuatku terasa hanyut dalam aliran air keruh. Tapi sebentar lagi aku akan menemukan satu titik jernih. Saat kubuka pintu kamar bernomor 6C aura kebahagiaan yang memancar. Bukan hanya satu titik jernih, tapi titik-titik itu membentuk garis. Lalu garis-garis itu membentuk bidang, dan bidang-bidang itu pun membentuk ruangan berisikan nuansa jernih. Mas Yudi, rekan kerjaku menyambut kedatanganku dengan jabatan tangan yang mantab. Wajah suramnya yang sering kujumpai saat ada masalah di kantor, lenyaplah sudah. Beberapa temanku yang lain sudah duluan tiba mengelilingi istri mas Yudi. Disampingnya, bayi mungil seberat 2,7 kg bergerak-gerak dengan mata masih tertutup.


Sang ibu masih terbaring lemas, tapi aura kebahagiaan mengalahkan rasa letihnya. Sembilan bulan jabang bayi berada di perut ibu, selama itu pula kita membebani setiap langkahnya dan menyerap sari-sari makanan ibu. Seberapa pun sakit dirasa, perjuangan ketika melahirkan adalah wujud cinta terdahsyat yang dilakukan ibu. Nyawa menjadi taruhannya. Setelah kita dilahirkan di dunia fana ini, apakah kita akan membalasnya dengan air tuba?


Beberapa bulan yang lalu kantorku pernah mengadakan kegiatan sosial bertema “Berbagi Kasih dengan Jompo”. Foto-foto dokumentasi acara tersebut memadati hardisk komputerku, berarti saatnya memindah ke DVD. Kukumpulkan folder-folder foto kegiatan seputar jompo. Ketika ku klik folder bernamakan Mbah Asni, wajah senjanya menghiasi monitor. Ah, bagaimana kabar Mbah Asni sekarang ya? Dulu, aku merekam aktivitasnya sehari-hari. Aku yang masih muda saja, jika harus berjualan keliling demi menjajakan kue seperti mbah Asni belum tentu sanggup. Usianya sudah berkepala tujuh, namun dia masih harus bekerja. Jam lima pagi, mbah Asni mendorong gerobak buatan suaminya menyusuri jalan-jalan yang mulai retak dimakan usia. Di sebuah rumah kecil, mbah Asni mengambil kue-kue titipan lalu menjajakannya keliling. Apa daya, sang suami tidak mampu bekerja lagi karena sakit. Keuntungan dari hasil jualan kue, digunakannya untuk hidup sehari-hari dan cicilan sewa rumahnya tiap bulan.


Berapa keuntungan hasil menjual kue? Aku sendiri hanya gigit jari dan menunduk malu ketika mbah Asni menyebutkan nominalnya. Lalu dimana anaknya? Air matanya tiba-tiba menetes. “Anakku wes ndak gelem karo wong tuwone. Wes pirang-pirang tahun ndak muleh.” (Anakku sudah tidak mau dengan orang tuanya. Sudah bertahun-tahun tidak pulang). Mendengar jawaban itu, hatiku berteriak. Berontak. Ya Tuhan, cerita Malin Kundang telah berjaya dengan berbagai versi. Akankah kita berbuat lebih kejam lagi sebagai balasan wujud cinta kepada ibu?


“Say it with Blog Writing Contest”, aku membaca tulisan itu di internet. Tentang siapa orang yang paling kamu cintai. Aku sudah tahu jawabannya, dan telah kutuliskan dalam coretan-coretan buku kecilku sehari-hari. Ibu, adalah jawaban cinta yang sebenarnya. Bukankah cinta itu harus tulus? Bukankah cinta itu memberi tanpa mengharap balasan? Bukankah cinta itu tidak cukup hanya sehari? Bukankah cinta itu perasaan senang jika kita berada di dekatnya? Bukankah cinta itu adalah naluri yang bekerja merasuki setiap hal terkecil apa yang kita rasakan? Bukankah cinta itu butuh pengorbanan? Bukankah cinta itu perjuangan? Dan semua cinta itu hanya kutemukan dalam diri ibu. Dering smsku pun berbunyi. Ya Tuhan, pesan dari ibu. Aku selalu tersenyum jika membaca pesan ibu. Dan satu lagi, bukankah cinta itu adalah orang yang membuatmu tersenyum dan mengirimu pesan ‘besok kamu pulang’? 

Kisah ini aku ambil dari TERIMAKASIH IBU ........

BAGAIMANA

Kalau aku mendengar namamu ibu, rasanya aku kembali ke jalanNya, dibimbing olehNya karena semua hal tentang Ibu adalah anugerah-anugerah yang indah

Dari sebuah nama yang engkau berikan untuk ku sangat mempunyai arti yang mendalam. Namaku adalah Doamu. Sebuah doa untuk aku menjadi orang kaya. Ya kaya hati, iman, ilmu, teman dan harta

Bagaiamana aku menjalaninya tanpa doamu, tanpa semangat yang engkau berikan bu?
Bagaimana aku bisa sampai seperti sekarang ini tanpa kekuatan yang engkau berikan bu?
Bagaimana aku akan mengasuh engkau di hari tuamu kelak ?

Bagaimana aku bisa mendapatkan yang seperti engkau, ibu ?
Bagaiamana akhirnya nanti (kami) akan merawatmu ?
Bagaimana aku akan membalasnya ibu ?

Sudah cukupkah yang kulakukan selama ini untukmu ?
Sudah benarkah tindakanku bagaimana menyapamu ?

Bagaimana memberimu hadiah Dan bagaimana itu semua akan kulakukan

Oh Tuhan, bolehkah aku merawat ibuku seperti dia merawatku diwaktu kecil dan Jika waktu yang menghalang sehingganya aku tidak sempat maka rawatlah dia seperti dia merawatku sewaktu kecil

        Aku ambil dari TERIMAKASIH IBU........

IBU dan BERAS

Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang.

Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya, saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.

Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.

Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras untuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibuya tidak mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.

Dan kemudian berkata kepada ibunya: " Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata : "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa kesana".

Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya.

Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh.

Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.

pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata : " Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.

Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: "Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna.

Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya" .Sang ibu sedikit takut dan berkata : "Ibu pengawas, beras dirumah kami semuanya seperti ini jadi bagaimana? Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata : "Ibu punya berapa hektar tanah sehingga bisa menanam bermacam- macam jenis beras". Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani berkata apa-apa lagi.

Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata: "Kamu sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu !".

Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis". Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk diatas lantai, menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras dan membengkak.

Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata: "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi."

Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya.

Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.

Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata: "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak dan berkata: "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."

Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai 627 point.

Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras.

Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.

Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi."Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik keatas mimbar.

Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata: "Oh Mamaku……

aku ambil dari catatan TERIMAKASIH IBU.....

Laman